Mempelajari cara berpakaian kaum muslimah, pembicaraan kita tidak akan lepas dari masalah aurat. Sebab, di antara hikmah yang paling agung dari disyari’atkannya pakaian ialah untuk menutup aurat. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa, itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Alloh, mudah-mudahan mereka selalu ingat. (QS. al-A’rof [7]: 26)
Apa Itu Aurat?
Aurat ialah celah dan cela pada sesuatu, atau setiap hal yang butuh ditutup, atau setiap apa yang dirasa memalukan apabila tampak, atau setiap apa yang ditutupi oleh manusia karena malu, atau ia juga berarti kemaluan itu sendiri. Aurat juga berarti saat yang kemungkinan besar akan ditampakkannya aurat itu sendiri, yaitu tiga waktu: sebelum sholat Shubuh, ketika pertengahan siang dan setelah Isya’ yang akhir.
Wanita Itu Aurat
Sesuatu yang mungkin luput pemahamannya dari kaum muslimin, khususnya kaum muslimah, ialah bahwa wanita itu aurat. Artinya, dia itu sendiri ialah aurat yang berarti harus ditutupi dan tidak ditampakkan, sebab tampaknya ia akan memalukannya. Di dalam sebuah hadits, Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita itu aurat, apabila ia keluar (dari rumahnya) setan senantiasa mengintainya.”
Berdasarkan makna aurat sebagaimana telah disebutkan di atas, hadits ini tidak mungkin akan dipahami bahwa maknanya wanita itu aib atau cela, atau wanita itu identik dengan kemaluan yang harus ditutup, namun hanya dipahami bahwa wanita itu adalah aurat yang apabila tampak akan memalukan dirinya. Ini yang sesuai dengan sifat asli wanita, yaitu pemalu. Dan ini adalah yang paling tepat tentang makna hadits di atas.
Al-Mubarokfuri di dalam Tuhfatul Ahwadzi (3/253) mengatakan: “Sabda beliau ‘wanita itu aurat’, berkata (penulis) Majma’il Bihar, ‘(beliau) menjadikan wanita itu sendiri adalah aurat sebab ia apabila tampak akan dirasa malu sebagaimana malu apabila aurat tampak.’ Dan Aurat itu ialah setiap apa yang dirasa malu apabila tampak. Ada yang mengatakan (artinya) ialah bahwa wanita itu memiliki aurat.
Sabda Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam, apabila ia keluar (dari rumahnya) maka setan selalu mengintainya, artinya menghias-hiasinya di pandangan mata kaum laki-laki. Ada yang mengatakan artinya setan selalu memandangnya untuk menyesatkannya dan menyesatkan (kaum laki-laki) dengannya.
Arti asal kata istisyrof ialah mengangkat pandangan mata untuk memperhatikan sesuatu dengan membuka tangan dan meletakkannya di atas kening. Sehingga makna hadits ini bahwa tampil dan tampaknya kaum wanita (di hadapan kaum laki-laki) itu (perbuatan yang ) jelek. Apabila ia keluar (dari rumahnya), pandangan mata akan tertuju padanya untuk menyesatkannya dengan kaum lainnya dan menyesatkan kaum lain dengannya agar kedua-duanya atau salah satunya terjatuh dalam fitnah (godaan syahwat). Atau bisa jadi yang dimaksud setan di sini ialah setan dari jenis manusia dari golongan pelaku dosa. Disebut setan sebab ada keserupaannya.” Sampai di sini perkataan al-Mubarokfuri Rohimallohu Ta’ala.
Bagian yang Termasuk Aurat
Dalam hadits di atas disebutkan oleh Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam bahwa secara umum wanita itu Aurat. Ini adalah hukum asalnya, bahwa menurut syari’at, wanita itu dari ujung rambutnya sampai ujung kakinya adalah aurat yang harus ditutupi, berdasarkan hadits Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam di atas. Dan tidak dikeluarkan dari hukum asal ini bagian tubuh manapun dari seorang wanita yang boleh tampak kecuali harus dengan dalil dari syari’at yang jelas pula.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam Majmu’ Fatawa wa Maqolat (9/332-333) mengatakan: “Maka wanita itu tidak boleh menjabat tangan laki-laki yang bukan mahromnya, dia tidak boleh menjabat tangan dokter laki-laki, direktur laki-laki, pasien atau orang sakit laki-laki dan selain mereka dari laki-laki yang bukan mahromnya. Tetapi dia (hanya boleh) berbicara dengan baik dan mengucapkan salam kepadanya tanpa menjabat tangan dan tanpa membuka (bagian tubuhnya). Dia menutup kepalanya, badannya, dan wajahnya meski dengan cadar, sebab wanita itu aurat dan fitnah (sesuatu yang menggoda). Alloh Azza wa Jalla berfirman:
…وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ …
Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. (QS. al-Ahzab [33]: 53)
Dan Dia Azza wa Jalla juga berfirman:
… وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ …
Dan janganlah metampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, …. (QS. an-Nur [24]: 31)
Sementara kepala dan wajah merupakan sebesar-besar perhiasan. Sehingga begitu jugalah apa yang ada pada kedua tangannya atau kedua kakinya berupa perhiasan (emas, perak atau yang semacamnya) juga pacar (pewarna tangan, kaki maupun kukunya), semuanya merupakan fitnah (penggoda) menurut dua ayat tersebut. Dan yang dimaksudkan ialah semuanya termasuk aurat. Maka yang wajib atas seorang wanita ialah menutupnya dan menjauhi sebab-sebab fitnah (godaan), dan termasuk sebab-sebab fitnah ialah berjabat tangan (dengan laki-laki bukan mahrom).” Sampai di sini perkataan Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rohimallohu Ta’ala.
Dari keterangan di atas, maka bagian tubuh wanita yang termasuk aurat adalah mulai dari kepalanya, termasuk rambut dan kedua telinganya, leher, badan, sepanjang kedua tangan, serta sepanjang kedua kakinya, seluruhnya termasuk aurat yang harus ditutupi dan tidak layak terlihat.
Sampai-sampai suara seorang wanita pun bisa menjadi salah satu aurat yang tidak boleh diperdengarkan kepada laki-laki yang bukan mahromnya. Syaikh Sholih bin Fauzan bin Abdulloh al-Fauzan pernah ditanya (al-Muntaqo min Fatawa al-Fauzan 60/10): “Apakah suara seorang wanita termasuk aurat?”
Maka beliau Rohimallohu Ta’ala menjawab: “Ya, suara wanita termasuk aurat. Seorang wanita diperintahkan untuk menjauhi fitnah. Apabila mendengarkan suaranya mengakibatkan kaum laki-laki terfitnah (terpedaya) olehnya, maka dia harus melirihkannya. Oleh karenanya, dia tidak boleh mengangkat suaranya saat ber-talbiyah (dalam haji), dia hanya boleh secara lirih. Dan tatkala sholat (berjama’ah) di belakang kaum laki-laki pun ketika imam sedikit lupa dalam sholatnya, dia hanya disyari’atkan menepuk (paha) untuk mengingatkan (imam)nya. Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا نَابَكُمْ شَيْءٌ فِي صَلَاتِكُمْ فَلْتُسَبِّحِ الرِّجَالُ وَلْتُصَفِّقِ النِّسَاءُ
“Apabila ada sesuatu (yang mengganggumu) dalam sholatmu (sehingga membuatmu lupa) maka hendaknya kaum laki-laki bertasbih dan kaum wanitanya menepuk (paha).”
Dan larangan ini lebih sangat bila disertai melembutkan dan memerdukan suaranya tatkala butuh berbicara dengan kaum laki-laki. Alloh Azza wa Jalla berfirman:
… فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلا مَعْرُوفًا
Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. (QS. al-Ahzab [33]: 32)
Imam Ibnu Katsir Rohimallohu Ta’ala mengatakan: “Maknanya, wanita itu berbicara kepada laki-laki asing (bukan mahromnya) dengan kata-kata tanpa dilemah-lembutkan, artinya wanita tidak boleh berbicara kepada laki-laki asing (bukan mahromnya) sebagaimana dia berbicara (dengan kelemah-lembutan suaranya) kepada suaminya.”
Apakah Auratnya Hanya Bagian Tubuh?
Telah dimaklumi bahwa seorang wanita tak lepas dari sesuatu yang dikenakannya berupa pakaian, termasuk perhiasan yang dikenakannya. Lalu apakah pakaian dan perhiasannya juga termasuk aurat yang harus ditutup atau tidak termasuk aurat?
Tentang hal ini Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
… وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ …
Dan janganlah mereka metampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah metampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, …. (QS. an-Nur [24]: 31)
Tentang firman Alloh Azza wa Jalla di atas, Ibnu Katsir Rohimallohu Ta’ala mengatakan: “Artinya, janganlah mereka metampakkan sedikitpun dari perhiasan mereka kepada laki-laki yang bukan mahromnya, kecuali apa yang tidak mungkin disembunyikan.”[5]
Dalam kelanjutan ayat tersebut Alloh Azza wa Jalla berfirman:
… وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ …
Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. (QS. an-Nur [24]: 31)
Imam Ibnu Katsir Rohimallohu Ta’ala mengatakan: “Wanita jahiliyah apabila berjalan sedangkan di kakinya ada gelang kaki yang diam tak terdengar suaranya, maka ia menghentakkan kakinya ke tanah sehingga kaum laki-laki pun mendengar gemerincingnya. Lalu Alloh Azza wa Jalla melarang kaum wanita beriman (melakukan) semisal perbuatan ini. Demikian juga apabila ada perhiasan yang tertutup lalu ia bergerak-gerak supaya tampak yang tersembunyi tersebut, pun masuk dalam larangan ini berdasarkan ayat tersebut.”
Jadi, ayat tersebut merupakan larangan dari Alloh Azza wa Jalla dari petampakan perhiasan yang dikenakan oleh seorang wanita. Maka dengan memahami makna aurat sebagaimana telah dijelaskan di awal tulisan ini, serta dengan memahami ayat di atas bahwa Alloh Azza wa Jalla memerintahkan kaum wanita agar tidak metampakkan perhiasannya, berarti perhiasan yang mereka kenakan termasuk aurat, sebab ia termasuk yang harus ditutupi sebagaimana aurat.[7] Wallohu a’lam.